A. Pengertian Kesalahan Berbahasa

Kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang menyimpang dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana dinyatakan dalam buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan[1]. S. Piet Corder dalam bukunya Introducing Applied Linguistik menjelaskan bahwa kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode bahasa. Pelanggaran ini disebabkan kurang sempurnanya penguasaan dan pengetahuan terhadap kode. Kesalahan berbahasa tidak hanya dibuat oleh siswa yang mempelajari B2 (bahasa yang dipelajari siswa), tetapi juga dibuat siswa yang belajar B1 (bahasa ibu).

Sedangkan analisis kesalahan berbahasa adalah suatu cara atau langkah kerja yang biasa digunakan oleh peneliti atau guru bahasa untuk mengumpulkan data, mengidentifikasi kesalahan, menjelaskan kesalahan, mengklasifikasikan kesalahan dan mengevaluasi taraf keseriusan kesalahan berbahasa[2].

Kesalahan berbahasa biasanya ditentukan berdasarkan ukuran keberterimaan. Apakah bahasa (ujaran atau tulisan) si pembelajar bahasa itu berterima atau tidak bagi penutur asli atau pengajarnya. Jadi, jika pembelajar bahasa Indonesia membuat kesalahan, maka ukuran yang digunakan adalah apakah kata atau kalimat yang digunakan pembelajar benar atau salah menurut penutur asli bahasa Indonesia. Jika kata atau kalimat yang digunakan pembelajar bahasa tadi salah, dikatakan pembelajar bahasa membuat kesalahanUkuran berbahasa yang baik ini adalah ukuran intrabahasaatau intralingual. Ukuran kesalahan dan ketidaksalahan intrabahasa adalah ukuran kebahasaan. Ukuran kebahasaan meliputi :

  • fonologi(tata bunyi)
  • morfologi(tata kata)
  • sintaksis(tata kalimat)
  • semantic(tata makna)

Seorang pakar linguistik Noam Comsky membedakan antara kesalahan berbahasa(error) dengan kekeliruan berbahasa(mistake), keduanya memang sama-sama pemakaian bentuk tuturan yang menyimpang, akan tetapi kesalahan berbahasa terjadi secara sistematis karena belum dikuasainya kaidah bahasa yang benar. Sedangkan kekeliruan berbahasa bukan terjadi secara sistematis, melainkan dikarenakan gagalnya merealisasikan kaidah bahasa yang sebenarnya sudah dikuasai.

Kekeliruan dalam berbahasa disebabkan karena faktor performansi, sedangkan kesalahan berbahasa disebabkan faktor kompetensi. Faktor performansi meliputi keterbatasan ingatan atau kelupaan sehingga menyebabkan kekeliruan dalm melafalkan bunyi bahasa, kata, urutan kata, tekanan kata atau kalimat. Kekeliruan ini bersifat acak, maksudnya dapat terjadi pada berbagai tataran linguistik. Kekeliruan biasanya dapat diperbaiki sendiri oleh siswa yang bersangkutan dengan cara lebih mawas diri dan lebih memusatkan perhatian pada pembelajaran. Sedangkan kesalahan yang di sebabkan faktor kompetensi adalah kesalahan yang disebabkan siswa belum memahami sistem linguistik bahasa yang digunakannya. Kesalahan berbahasa akan sering terjadi apabila pemahaman siswa tentang sistem bahasa kurang. Kesalahan berbahasa dapat berlansung lama apabila tidak diperbaiki. Guru dapat melakukan perbaikan dengan melalui remedial, latihan, praktik, dan lain sebagainya.

Sebab-sebab terjadinya kesalahan berbahasa diantaranya[3] :

  • Pengertian kacau
  • Interferensi
  • Logika yang belum masak
  • Analogi
  • sembrono

B. Proses Terjadinya Kesalahan Berbahasa

Proses terjadinya kesalahan berbahasa berhubungan erat dengan proses belajar bahasa, oleh karena itu untuk memahami proses terjadinya kesalahan berbahasa diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep belajar bahasa. Belajar bahasa terdiri atas proses penguasaan bahasa pertama dan penguasaan kedua. Proses penguasaan pertama disebutpemerolehan bahasa (language acquisition). Proses ini bersifat ilmiah dan tampak adanya suatu perencanaan terstruktur. Setiap anak yang normal secara fisik psikis, dan sosiologis pasti mengalami proses pemerolehan bahasa pertama melalui kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Proses ini berlangsung tanpa disadari anak dan anakpun tidak menyadari motivasi apa yang mendorongnya untuk menguasai bahasa tersebut.

Proses berbahasa kedua terjadi setelah penguasaan bahasa pertama dan disebut belajar bahasa (language learning) proses ini umumnya berlangsung secara terstruktur dan siswa menyadari bahwa dia sedang belajar bahasa dan juga menyadari motivasi apa yang mendorongnya untuk menguasai bahasa tersebut.

Dalam proses belajar bahasa kedua, seorang pembelajar bahasa akan mempelajari intrabahasa yang dipelajarinya atau B2, sedangkan pelajar itu sendiri telah menguasai kaidah intrabahasa sendiri atau B1, selama belajar inilah si pembelajar akan menggunakan seperangkat ujaran dalam sistem bahasa tersendiri, yang bukan atau belum mempunyai model dalam dua bahasa tersebut ( B1 dan B2). Sistem bahasa pembelajar ini disebut oleh Larry Salinker dengan nama interlanguage (bahasa antara). Istilah lain untuk menyebut interlanguage adalah ideosynratic dialect (Piet Corder, 1971), approximative system (William Nemser, 1971) atau tradisional competence (Richard, 1971).

Untuk memperkenalkan bahasa antara, salinker memperkenalkan pula konsep bahasa warisan atau bahasa ibu (B1) dan bahasa ajar (B2). Berikut proses belajar bahasa:

Bahasa warisan → bahasa antara → bahasa ajaran

Sebagian dari unsur-unsur interlanguage (bahasa antara) ini sama dengan unsur bahasa kedua yang dipelajari dan sebagian yang lain tidak sama. Kesalahan berbahasa terjadi pada sistem interlanguage ini, yaitu unsur-unsur atau bentuk tuturan pada interlanguage yang tidak sama dengan bentuk-bentuk tuturan pada bahasa kedua yang dipelajari. Secara teoritis, unsur-unsur sistem interlanguage itu terdiri atas pembauran antara unsur-unsur bahasa pertama dan bahasa kedua yang di pelajari. kesalahan-kesalahan ini bersifat sistematik dan terjadi pada setiap orang yang belajar bahasa.

C. Pandangan Audiolingualisme dan Psikologi Kognitif Terhadap Kesalahan Berbahasa

Kurangnya ketrampilan berbahasa yang salah satunya disebabkan oleh kesalahan-kesalahan berbahasa dapat menjadi hambatan dalam proses komunikasi. Salah satu pendekatan pengajaran berbahasa yang berkembang pada dasawarsa 50-an dan 60-an yakni pendekatan audiolingualisme menekankan pentingnya latihan-latihan untuk menguasai bahasa yang dilaksanakan secara intensif. Dalam pelajaran bahasa, murid-murid dipaksa selama berjam-jam menghafalkan dialog, latihan-latihan menguasai pola serta generalisasi gramatika. Pendekatan ini memandang kesalahan berbahasa sebagai sesuatu yang bersifat puritanistis, artinya kesalahan berbahasa dipandang sebagai dosa yang harus dihindari. Metode yang digunakan pendekatan ini untuk menghindari terjadi kesalahan dalam berbahasa adalah dengan melatihkan kepada si pembelajar model-model yang benar dalam waktu yang cukup lama.

Berbanding terbalik dengan pandangan audiolinguisme, aliran psikologi kognitif justru memandang kesalahan berbahasa sebagai suatu yang wajar. Pendapat ini berangkat dari proses penguasaan bahasa pada anak, setiap anak hampir bisa dipastikan akan membuat kesalahan berbahasa, akan tetapi orang tua atau orang dewasa di lingkungannya memandang hal ini sebagai sesuatu yang wajar.


D. Perbedaan Analisis Kesalahan Berbahasa dengan Analisis Konstrastif

1) Pengertian Analisis Konstrastif

Memahami analisis konstrastif akan lebih mudah jika kita memahami makna kedua kata tersebut. Analisis adalah suatu proses atau cara membahas yang bertujuan untuk mengetahui sesuatu dan bisa menemukan inti permasalahannya. Sedangkan makna dari konstrastif adalah membandingkan perbedaan.

Jadi yang dimaksud analisis konstrastif (anakon) adalah kegiatan membandingkan struktur bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) dengan bahasa yang diperoleh atau dipelajari sesudah bahasa ibu (B2) untuk mengidentifikasi perbedaan dan persamaan kedua bahasa[4].

Anakon muncul disebabkan timbulnya usaha untuk memperbesar keberhasilan pengajaran dan pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua (B2). Anakon dapat digunakan untuk meramalkan kesalahan siswa mempelajari B2, perbedaan-perbedaan pada tiap tataran B1 dan B2 akan memberikan kesulitan pada siswa dalam mempelajari B2, sebaliknya, persamaan antara B1 dan B2 akan mempermudah siswa dalam mempelajari B2 sehingga guru dapat menyusun materi sesuai dengan tingkat kesulitan masing-masing. Pelopor utama analisis konstrastif ini adalah Robert lado, melalui bukunya yang berjudul Linguistic Across Cultures (linguistik dipelbagai budaya), anakon diperkenalkan dan diterapkan[5].

Dalam analisis konstrastif dikenal dua istilah penting yang akan selalu muncul dalam proses analisa, yakni transfer dan interferensi. Konsep transfer di hubungkan dengan proses belajar bahasa, yakni pengalihan dari kebiasaan ber B1 ke dalam proses ke B2.  Sedangkan kesalahan yang di akibatkan proses transfer yang tidak cocok atau tidak sama antara B1 dan B2 disebut interferensi.

2) Perbedaan Analisis Kesalahan Berbahasa dengan Analisis Konstrastif

Para ahli pendidikan bahasa tidak puas akan teori-teori analisis konstrastif yang hanya menjelaskan kesalahan berbahasa siswa hanya berdasarkan interferensi B1 dan B2 saja. Terdapat banyak kesalahan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori anakon. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan Winlkins dan Upshur yang menemukan adanya banyak kesalahan yang disebabkan oleh faktor psikologi dan pedagogis. Kontra argument inilah yang kemudian melahirkan analisis kesalahan berbahasa.

Jadi jelaslah perbedaan antara kesalahan berbahasa (anakes) dengan analisis konstrastif (anakon). Anakes menganalisis kesalahan-kesalahan tersebut dengan cara membuat kategori kesalahan, sifat, jenis, dan daerah kesalahan, sedangkan anakon  membandingkan struktur bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) dengan bahasa yang diperoleh atau dipelajari sesudah bahasa ibu (B2) untuk mengidentifikasi perbedaan dan persamaan kedua bahasa.

Berikut ini perbedaan anakon dan anakes jika ditinjau dari beberapa aspek:

  • Aspek permasalahan

Permasalahan anakon meliputi permasalahan bidang keterampilan (membaca, menyimak, berbicara dan menulis) dan juga bidang linguistik (tata bunyi tata bentuk kata dan tata kalimat). Sedangkan permasalahan anakon terletak pada pengaruh dari B1 ke dalam B2, pengaruh inilah yang menyebabkan kesalahan berbahasa.

  • Aspek batasan kajian

Batasan kajian dari analisis kesalahan adalah memberikan kategori, sifat, jenis, dan daerah kesalahan. Sedangkan batasan kajian analisis konstrastif adalah perbandingan antara B1 dan B2.

  • Aspek ruang lingkup

Ruang lingkup anakes meliputi fonologi (tata bunyi), morfologi (tata bentuk kata), sintaksis (tata kalimat) dan semantik (tata makna). Sedangkan ruang lingkup anakes terbatas hanya menganalisis dua bahasa dengan cara membandingkannya.

  • Aspek objek analis

Anakes dan anakon memiliki objek yang sama yakni bahasa. Namun keduanya berbeda pada titik tekannya. Anakes menitikberatkan objek analisis kesalahan pada bahasa siswa yang sedang mempelajari B2 atau bahasa asing. Objek yang lebih khusus lagi adalah kesalahan bahasa siswa yang bersifat sistematis dan menyangkut analisis kesalahan yang berhubungan dengan keterampilan berbahasa  (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis), tata bunyi, tata bentuk kata, tata kalimat, dan tata makna. Sedangkan objek anakon adalah bahasa itu sendiri atau sebagai bahan pengajaran.

  • Aspek tujuan

Tujuan dari anakes adalah agar dapat membantu guru untuk mengetahui jenis kesalahan yang dibuat siswa , daerah kesalahan, sifat kesalahan, sumber kesalahan, serta penyebab kesalahan. Bila guru telah menemukan kesalahan-kesalahan tersebut , guru dapat mengubah metode dan teknik mengajar yang digunakan, dapat menekankan aspek bahasa yang perlu diperjelas, dapat menyusun rencana pengajaran remedial, dan dapat menyusun program pengajaran bahasa itu sendiri

[1]http://gemasastrin.wordpress.com/2009/06/14/analisis-kesalahan-berbahasa/

[2]http://elyhamdan.wordpress.com/2009/02/10/sekilas-analisis-kesalahan-berbahasa-indonesia/

[3] Pranowo, Analisis Pengajaran Bahasa, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996.

[4]http://binekasnetwork.blogspot.com/2008/10/analisis-konstrastif.html

[5] Jos Daniel Parera, Linguistik Educational, Jakarta: Erlangga, 1997, hal: 107

Sumber: https://www.google.com/search?hl=in-ID&ie=UTF-8&source=android-browser&q=kesalahan+ujaran#xxri=1